Matanusa, Sukabumi – Isu perkawinan anak menjadi sorotan serius di Kabupaten Sukabumi, terutama dengan tingginya angka permohonan dispensasi usia kawin. Merespons hal ini, Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) bersama Koalisi 18+ bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Sukabumi menggelar dialog kebijakan publik bertajuk “Dilematik Dispensasi Kawin dalam Perkawinan Anak di Kabupaten Sukabumi”. Acara ini diadakan di kantor Bupati Sukabumi pada Kamis (28/03).
Angka perkawinan anak di Jawa Barat mencapai 8,65%, lebih tinggi dari angka nasional sebesar 8,06%, menempatkan Jawa Barat di peringkat ketiga tertinggi di Indonesia. Berdasarkan policy paper yang diluncurkan hari ini oleh Plan Indonesia dan Koalisi 18+, dari 60 perkara dispensasi kawin di Pengadilan Agama Giri Menang dan Pengadilan Agama Sukabumi, 90% permohonan dispensasi kawin disetujui oleh hakim.
Nazla Mariza, Direktur Pengaruh Plan Indonesia, mengungkapkan tujuan dialog ini adalah untuk mendorong evaluasi kebijakan terkait perkawinan anak. Dalam Implementasi kebijakan pencegahan perkawinan anak belum optimal, tentunya Kami berharap dialog ini dapat memperkuat komitmen semua pihak untuk mencegah perkawinan anak, termasuk memperketat pemberian dispensasi,” ujarnya.
“Dalam menyikapi masalah ini, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Sukabumi sedang merancang Rancangan Aksi Daerah (RAD) Pencegahan Perkawinan Anak dan Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan Perkawinan Anak Kabupaten Sukabumi Tahun 2022-2027.
Jujun Juaeni, Staff Ahli Bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia (SDM), menekankan pentingnya mengurangi angka perkawinan anak di Kabupaten Sukabumi. “Perkawinan anak adalah isu global, serta penting untuk memanfaatkan perangkat negara dan agama agar anak dapat terlindungi,” tambahnya.
“Meskipun telah ada berbagai kebijakan untuk mencegah perkawinan anak, isu ini masih menjadi tantangan karena banyaknya permohonan dispensasi kawin anak yang dikabulkan. Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 perlu dievaluasi.”
Ketua Pengadilan Agama Cibadak, Dra. Ma’ripah, menyatakan bahwa hakim yang menetapkan perkara dispensasi kawin seharusnya mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Namun, masih banyak tantangan di lapangan,” terangnya.
Ronald Rofiandri, Penasihat Kebijakan dan Advokasi Plan Indonesia, menyoroti bahwa putusan dispensasi kawin justru dapat memperburuk keadaan anak, terutama anak perempuan. “Diperlukan penyempurnaan dengan memastikan keterlibatan anak dan kepentingan terbaik bagi mereka,” tambahnya.
Resi, seorang pendidik sebaya dan advokat pemuda, berbagi pengalaman tentang dampak negatif perkawinan anak. “Teman-teman saya banyak yang dinikahkan di usia anak. Saya percaya kita harus dilibatkan dalam menyelesaikan masalah ini,” katanya.
Drs. H. Eki Radiana Rizki, Kepala DP3A Kabupaten Sukabumi, menekankan perlunya kerja sama dari berbagai pihak untuk mencegah perkawinan anak. Dr. Nur Rofiah dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia menyoroti bahaya perkawinan anak bagi anak perempuan,” tegasnya.
“Plan Indonesia, melalui Program Generasi Emas Bangsa Bebas Perkawinan Usia Anak (Gema Cita), fokus pada pencegahan perkawinan anak melalui penguatan kapasitas HKSR dan pemberdayaan perempuan di Kabupaten Sukabumi,” pungkasnya.
Kesimpulan dari dialog ini adalah perlunya evaluasi mendalam terhadap kebijakan yang ada serta kerja sama lintas sektor untuk menangani masalah perkawinan anak di Kabupaten Sukabumi.