Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional Picu Penolakan: “Mengaburkan Luka Sejarah dan Mencederai Keadilan Publik”

Ketika keadilan dipertanyakan, mahasiswa turun menyampaikan sikap. Demi korban, demi sejarah, demi masa depan bangsa. (Foto: Istimewa).

Sukabumi | Matanusa.net – Di tengah upaya bangsa Indonesia menegakkan keadilan sosial dan melanjutkan cita-cita reformasi, penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional memicu arus penolakan dari berbagai kalangan masyarakat. Dua dekade setelah Reformasi 1998, luka sejarah akibat pelanggaran HAM, pembungkaman kebebasan sipil, serta praktik otoritarianisme pada masa Orde Baru masih dirasakan hingga hari ini.

Kelompok masyarakat dan aktivis prodemokrasi menilai bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dilakukan pada waktu yang tidak tepat dan berpotensi melukai perasaan korban pelanggaran HAM yang belum mendapat penyelesaian hukum. Mereka menegaskan bahwa Soeharto bukan hanya tokoh yang memimpin Indonesia selama 32 tahun, tetapi juga simbol kekuasaan yang mengekang demokrasi dan kebebasan berpendapat.

Sejumlah tragedi kemanusiaan pada masa pemerintahannya—mulai dari operasi militer di Aceh, Timor Timur, Papua, hingga berbagai kasus kekerasan politik lainnya—disebut masih menyisakan luka dan belum dituntaskan secara transparan.

Analisis Akademis: Hegemoni dan Keadilan yang Tertunda

Dalam pernyataan sikap yang dirilis, para penolak mengaitkan keputusan ini dengan teori hegemoni Antonio Gramsci. Mereka menyebut bahwa kekuasaan yang pernah dominan tidak hanya bertahan melalui aparatur koersif seperti militer atau hukum, tetapi juga melalui hegemoni budaya. Upaya membangun citra positif sosok penguasa masa lalu, menurut mereka, dapat menjadi bentuk pengendalian narasi sejarah agar Orde Baru dikenang sebagai masa stabilitas, bukan masa represi.

Selain itu, pandangan teori keadilan transisional (transitional justice) yang dikemukakan akademisi AS, Ruti Teitel, dijadikan pijakan bahwa negara seharusnya tidak memberi penghargaan kepada individu yang masih memiliki catatan pelanggaran HAM berat sebelum ada proses pengakuan, penyelidikan, pengadilan, maupun rekonsiliasi yang jujur. Penghargaan sebelum penyelesaian keadilan, menurut mereka, merupakan pengkhianatan terhadap korban dan nilai moral kebangsaan.

Pernyataan Sikap Penolakan

Berangkat dari analisis tersebut, mereka menyampaikan tiga poin sikap sebagai berikut:

  1. Gelar pahlawan merupakan simbol moral tertinggi negara yang semestinya diberikan kepada sosok yang mengutamakan kepentingan rakyat, bukan representasi dari rezim yang mengekang kebebasan dan demokrasi.
  2. Pemberian gelar ini dianggap berpotensi menurunkan martabat kepahlawanan serta mencederai rasa keadilan para korban pelanggaran HAM semasa Orde Baru.
  3. Pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto, diminta meninjau ulang keputusan tersebut, dengan mempertimbangkan aspirasi publik, fakta sejarah, dan prinsip keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Para pihak yang menolak menegaskan bahwa kepahlawanan tidak lahir dari kekuasaan, melainkan dari keberanian menegakkan kebenaran. Bagi mereka, bangsa Indonesia tidak akan tumbuh besar dengan menutupi luka sejarah, tetapi dengan keberanian mengakuinya secara jujur.