Matanusa, Sukabumi – Pada tahun 1707, Van Hoorn, memulai perjalanan panjang pengembangan bibit kopi di sepanjang pantai Batavia hingga Cirebon. Meskipun percobaan awal di dataran rendah tidak sukses, namun ketika penanaman dialihkan ke dataran tinggi, terutama di perbukitan Karawang, hasilnya menggembirakan.
Bupati Cianjur, Arya Wiratana, memainkan peran kunci dengan menyetor hampir lima puluh kilogram kopi ke gudang VOC pada 1711. Meski mendapat harga lumayan, VOC dengan cepat mengenakan kebijakan yang merugikan petani, menurunkan harga kopi secara drastis.
Enam tahun kemudian, VOC menjadi produsen kopi terbesar di dunia, menguasai perdagangan kopi setengah hingga tiga seperempatnya. Tetapi, keuntungan besar ini diiringi dengan penindasan terhadap petani. VOC menurunkan harga, memperkenalkan sistem berat yang merugikan, bahkan menyebabkan perlawanan petani.
Pertempuran antara petani dan VOC mencapai puncaknya saat seorang bupati Cianjur tewas dibunuh, menciptakan gelombang perlawanan tidak langsung petani. Meskipun VOC bangkrut pada akhir abad ke-18, pemerintah kolonial melanjutkan penindasan dengan memperkenalkan sistem tanam paksa pada tahun 1830.
Penderitaan rakyat Priangan berlanjut hingga diberlakukannya Undang-Undang Agraria pada 1870, membuka pintu bagi pihak swasta untuk mengelola perkebunan bekas lahan tanam paksa. Sejarah perjuangan kopi Nusantara menjadi warna-warni dalam menggambarkan ketahanan dan perjuangan petani melawan eksploitasi. Sementara itu, semangat “Salam Kopi Nusantara” tetap menyala dalam warisan kopi Indonesia.