Sukabumi Kota | Matanusa.net – Aroma konflik mulai menyengat dari kawasan wisata kuliner Eks Terminal Lama Sudirman, Kota Sukabumi, pada Senin (5/5/2025). Para pedagang yang sebelumnya penuh harapan kini justru menjerit. Omzet dagangan ambruk, pengunjung menyusut, dan pengelola baru—PT Sagara Inovasi Sukabumi—diduga hanya bisa membuat aturan tanpa gebrakan nyata.
Suara protes mulai bermunculan, salah satunya lewat akun Instagram rahma.kitchen. Lewat unggahannya, akun ini membeberkan sistem kurasi pedagang yang dinilai asal-asalan. Pembedaan berdasarkan KTP Kota atau Kabupaten dinilai diskriminatif, apalagi ternyata banyak lapak yang justru dikuasai satu owner dengan berbagai identitas. Lucu, sekaligus ironis.
“Yang katanya satu pedagang satu lapak, kenyataannya? Ada yang punya tiga, empat. Komoditi sama pun lolos kurasi. Ngarang banget,” tulis akun tersebut pedas.
Kritik demi kritik mengalir deras dari netizen. Akun @resty.yunita90 menyentil keras pengelola karena menyingkirkan pedagang lama yang selama ini bertahan di tengah sepinya pengunjung. Akun @dhifayuuuu menambahkan, sistem pengelolaan saat ini terlalu birokratis dan lebih sibuk mengatur ketimbang menggairahkan suasana kuliner.
Ledakan kritik semakin liar ketika akun @amsal_afghani mengungkap dugaan penipuan puluhan juta rupiah oleh oknum pedagang yang mengaku pengurus dan bahkan disebut-sebut membawa senjata api. Tagar “suara rakyat” langsung diarahkan ke akun Polres hingga Kapolri. Kalau ini benar, situasinya bukan hanya kacau, tapi mengarah ke ancaman serius.
Di sisi lain, akun @andikaputradermawan terang-terangan menyebut kreativitas pengelola nyaris nol. Ia menandai Wakil Wali Kota Sukabumi agar segera turun tangan. “Kreatifitas pedagang luar biasa, tapi dibalas dengan pengelolaan yang beku dan semrawut,” tulisnya.
Keluhan lain menyasar aspek keamanan dan kenyamanan. Dari keluhan parkir yang terasa seperti masuk mal karena sistem portal otomatis, hingga cerita soal premanisme yang kian merajalela. “Baru masuk parkiran aja, suasananya udah nggak enak,” keluh akun @riestaria.
Sejumlah pedagang di lapangan bahkan blak-blakan menyebut pengelolaan saat ini sebagai “mati suri”. Tak ada event, tak ada promosi, dan tak ada ide segar. “Jujur aja, mending balik ke pengelola lama. Bayar mahal dikit tapi rame, sekarang murah tapi mati gaya,” ungkap pedagang minuman yang minta identitasnya disembunyikan.
Ia pun mengungkap penurunan omzet drastis: dari 150 cup per hari kini tinggal 20-30 cup saja. Menurutnya, selain karena tidak ada aktivitas yang mendatangkan pengunjung, portal parkir juga menjadi ‘pengusir halus’ bagi calon pembeli.
Lebih gawat lagi, sejumlah dokumen kontrak antara Disporapar Kota Sukabumi dan pengelola mulai beredar. Isinya mengejutkan: dari kewajiban penyediaan WC umum, musala, panggung pertunjukan hingga pusat informasi. Semua itu—hingga kini—hanya ada di atas kertas. Di lapangan? Nol besar.
“Panggung? Gak ada. Kegiatan? Mati. Kantor pengelola? Kosong. Yang ada cuma toa speaker yang bisu,” sindir seorang pedagang lain.
Dan puncaknya, ada komitmen membangun gapura dalam sebulan sejak MOU ditandatangani pada 15 Maret 2025. Tenggatnya? 30 April. Faktanya? Gapura pun tak pernah berdiri. Di dokumen disebutkan, bila melanggar, pengelola bisa dituntut secara hukum. Tapi sejauh ini, tidak ada gerakan, tidak ada sanksi, tidak ada suara.
“Pihak Disporapar waktu itu bilang sendiri, kalau ada komitmen yang dilanggar, pengelola langsung gugur. Sekarang? Kayaknya semua diam,” ucap Kurniawan, salah satu peserta seleksi pengelola yang ikut sejak awal.
Kawasan kuliner yang dulu diharap menjadi magnet wisata, kini justru jadi simbol kegagalan manajemen. Pedagang terpinggirkan, pengunjung terintimidasi, dan publik mulai kehilangan kepercayaan. Tinggal satu pertanyaan besar: sampai kapan dibiarkan?. (Tim)