Rokok Mahal, Ilegal Makin Laris? GAPPRI Angkat Suara

Harga Rokok Naik di 2025. (Foto: MN/Ist).

Matanusa, Jakarta – Pemerintah resmi menaikkan harga jual eceran (HJE) rokok pada tahun 2025, dengan rata-rata kenaikan mencapai 10,5% dan pajak pertambahan nilai (PPN) naik menjadi 10,7%. Kenaikan ini diperkirakan akan mengerek harga rokok hingga 28,27% pada beberapa golongan.

Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, menyatakan bahwa kebijakan ini berisiko membebani industri hasil tembakau (IHT), terutama bagi produsen sigaret kretek tangan (SKT) yang mengalami kenaikan harga hingga 14,07%.

“Kenaikan ini berdampak langsung pada harga jual rokok di pasar, yang pada akhirnya bisa memicu peralihan konsumen ke rokok ilegal,” kata Henry, pada Jumat (3/1).

Potensi Meningkatnya Rokok Ilegal

Henry menjelaskan bahwa lonjakan harga rokok legal akan membuka peluang bagi peredaran rokok ilegal. Ia khawatir konsumen yang mencari harga lebih murah akan beralih ke produk ilegal yang tidak dikenakan pajak dan pungutan.

“Produksi rokok nasional bisa menyusut jika konsumen beralih ke rokok ilegal. Ini akan menguntungkan penjual rokok ilegal yang tidak dibebani aturan pajak,” tambahnya.

Industri Rokok Terancam

Henry mengungkapkan bahwa produksi rokok dalam negeri terus menurun hingga 0,78% dalam 10 tahun terakhir. Kenaikan HJE ini dinilai memperparah kondisi IHT dan berdampak langsung pada nasib para pekerja di sektor tersebut.

“Kenaikan HJE akan memicu penurunan permintaan. Akibatnya, tenaga kerja di sektor ini akan terdampak,” ujarnya.

GAPPRI Minta Pemerintah Relaksasi Tarif

GAPPRI sebelumnya telah meminta pemerintah agar memberikan relaksasi terhadap tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan HJE hingga 2027. Mereka juga berharap tarif PPN rokok tetap berada di angka 9,9%.

Namun, pemerintah memutuskan menaikkan PPN rokok menjadi 10,7%, yang menurut Henry bertentangan dengan kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan tarif dasar PPN tetap 11%.

“Kenaikan PPN ini tidak sesuai dengan kebijakan yang disampaikan Presiden. Ini akan membebani pengusaha dan mempercepat peredaran rokok ilegal,” ungkap Henry.

Henry menegaskan bahwa IHT saat ini berada di bawah tekanan regulasi yang ketat, baik secara fiskal maupun non-fiskal, dengan lebih dari 480 aturan pembatasan. Ia berharap pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan tersebut demi keberlangsungan industri dan tenaga kerja.

“Jika harga rokok terus naik, daya beli masyarakat yang masih lemah akan semakin tergerus, dan rokok ilegal berpotensi merebak,” pungkasnya.